Membedah pola pikir pelukis Karang Sasongko
Karang Sasongko ( Klaten, 13 Maret 1963 ) adalah seorang pelukis yang dalam perkembangan hidupnya selalu melakukan eksperimen mengembangkan seni lukis dengan lingkungan sosial dan dunia pendidikan. Sebagai pewaris seni dari Sang Maestro seni lukis indonesia yaitu Rustamadji yang lebih dikenal sebagai pelopor seni rupa Indonesia tentu saja mempunyai tanggung jawab seni lukis di dalam keluarga maupun di masyarakat.
Jika di potret dari sisi
sikapnya, dia adalah pribadi yang sederhada dengan senyum sebagai ciri khasnya
dalam berinteraksi dengan orang lain. Sebagai pribadi pelukis dia memang
berbeda dengan pelukis-pelukis terkenal lainnya termasuk ayahandanya. Kala
pelukis Affandi sebelum jadi pelukis dia bekerja sebagai guru sedang Karang
Sasongko menjadi pelukis dulu baru bekerja sebagai guru. Kalau pelukis
Rustamadji bersikap bahwa lukisannya lahir atas perintah-Nya berasal dari
tenaga paranormal setelah lewat proses wujud sedang Karang Sasongko bersikap
bahwa lukisanya hadir lewat kekuata pikiran untuk orang lain.
Lahir dilingkungan keluarga
pelukis wajar jika dia menjadi seorang pelukis akan tetapi pengetahuan dan
ketrampilan melukisnya tidak didapatkan dari pembelajaran khusus dari ayahnya
dan pendidikan formal seni lukis. Proses
pengamatan dan kekuatan pikiranya dari mengamati hasil karya lukisan ayahnya
digetarkan melalui tangannya menjadi lukisan otodidak yang tidak kalah dengan
pelukis lainnya yang mendapatkan pengetahuan melalui khursus dan pendidikan
formal.
Kepedulian terhadap dunia pendidikan
Setelah lulus dari UGM fakultas
Peternakan sangatlah aneh dunia kerja yang diliriknya bukan berhubungan dengan
peternakan namun dia lebih melirik sebagai seorang pelukis ketimbang juragan
ayam apa kerja di pemotongan sapi yang bertolak belakang dengan disiplin ilmu
yang digelutinya. Tidak puas tehadap
duna lukis yang karya lukisanya hanya untuk kalangan tertentu saja, seorang
yang namanya Karang Sasongko berbagi pengetahuan dengan orang lain dengan
mendirikan kursus seni lukis untuk anak-anak sekaligus menggali dan
mengembangkan talenta anak terhadap seni lukis.
Pengalaman berinteraksi dengan
anak-anak dalam pembelajaran seni lukis dirumahnya membuka cakra kesadaranya
bahwa ada yang keliru dalam pendidikan seni lukis di sekolah formal. Pelaksanaan
pendidikan seni budaya di sekolah yang hanya sebagai pelengkap kurikulum dan
berorientasi verbal dan kurangnya memberi motivasi daya kreasi peserta didik di
sekolah yang menyebabkan dia harus terjun langsung di dunia pendidikan formal
menjadi seorang guru.
Materi bukan tujuan utama untuk
menjadi seorang guru, rasa keilklsan dan tanggung jawab sebagai seorang seniman
untuk menularkan pengetahuan dan ketrampilanya
kepada peserta didik sekaligus meningkatkan mutu pendidikan seni budaya
di sekolah. Hal ini pantas di acungi jempol seorang seniman lukis yang mau
terjun langsung menjadi seorang guru. Mungkin 1 dari 100 pelukis yang mau menjadi seorang guru.
Pribadi seorang pelukis.
Sebagai seorang pelukis yang
menggeluti aliran realisme berdasarkan hasil karyanya, Karang Sasongko tidak
mau terjebak realisme sebagai suatu aliran yang paten seperti pelukis-pelukis
lainya yang setia terhadap suatu aliran tertentu dalam seni lukis, Realisme dipandang sebagai medium
mengaktualisasikan kepedulianya terhadap lingkungan.
Dilihat dari hasil karyanya dia
berorientasi pada lukisan realisme dan
naturalisme, kelihatanya Karang Sasongko berusaha berusaha melukiskan
segala sesuatu sesuai dengan nature atau alam nyata. Selain itu juga menampilkan subjek dalam suatu karya
sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa tambahan embel-embel atau
interpretasi tertentu.
Tehnik lukisan senantiasa
dikembangkan termasuk tehnik menyusun titik-titik menjadi lukisan yang dikenal
dengan pointilis. Hal ini berkenaan dengan pribadia dia sebagai seorang
pendidik bukan sebagai pribadi pelukis yang idialistis.
Pointillisme adalah salah
satu teknik dalam lukisan yang memanipulasi ketidaksensitifan mata dalam
meneliti detail kumpulan titik hingga mampu memberikan kesan keberadaan bidang
atau warna baru. Biasanya warna-warna yang bukan merupakan warna primer
dibentuk secara visual dengan mendekatkan beberapa warna primer menjadi bentuk
lukisan yang sangat indah untuk dinikmati.
Saat dilihat dari jarak tertentu, titik-titik pada lukisan pointillisme benar-benar saling tercampur dengan titik lainnya. Untuk pencampuran warna, maka warna baru yang dihasilkan bisa menjadi lebih jernih dan kuat dibanding pencampuran langsung pada palet, sebab yang bergabung adalah warna, bukan pigmen.
Saat dilihat dari jarak tertentu, titik-titik pada lukisan pointillisme benar-benar saling tercampur dengan titik lainnya. Untuk pencampuran warna, maka warna baru yang dihasilkan bisa menjadi lebih jernih dan kuat dibanding pencampuran langsung pada palet, sebab yang bergabung adalah warna, bukan pigmen.
Lepas dari itu semua masalah idialistis dari seorang pelukis, yang jelas
adanya keberanian dan rasa iklas dari seorang pelukis untuk melukis dalam
masyarakat dan dunia pendidikan sehingga dapat menyumbang terbentuknya atmosfer
pendidikan seni budaya di sekolah sekaligus menjadi pelopor seniman lukis
lainnya untuk menorehkan kanvas di dunia pendidikan
pointilis ya
BalasHapussaya sangat suka dengan yang satu ini,
senang bisa kenal dengan bapak yang suka dengan pointilis juga..............
Bagus tulisannya. Terimakasih.
BalasHapus