Jumat, 20 Januari 2012

Pelukis Yang Peduli Terhadap Dunia Pendidikan


Membedah pola pikir pelukis Karang Sasongko


Karang Sasongko ( Klaten, 13 Maret 1963 ) adalah seorang pelukis yang dalam perkembangan hidupnya selalu melakukan eksperimen mengembangkan seni lukis dengan lingkungan sosial dan dunia pendidikan. Sebagai pewaris seni dari Sang Maestro seni lukis indonesia yaitu Rustamadji yang lebih dikenal sebagai pelopor seni rupa Indonesia tentu saja mempunyai tanggung jawab seni lukis di dalam keluarga maupun di masyarakat.

Jika di potret dari sisi sikapnya, dia adalah pribadi yang sederhada dengan senyum sebagai ciri khasnya dalam berinteraksi dengan orang lain. Sebagai pribadi pelukis dia memang berbeda dengan pelukis-pelukis terkenal lainnya termasuk ayahandanya. Kala pelukis Affandi sebelum jadi pelukis dia bekerja sebagai guru sedang Karang Sasongko menjadi pelukis dulu baru bekerja sebagai guru. Kalau pelukis Rustamadji bersikap bahwa lukisannya lahir atas perintah-Nya berasal dari tenaga paranormal setelah lewat proses wujud sedang Karang Sasongko bersikap bahwa lukisanya hadir lewat kekuata pikiran untuk orang lain.

Lahir dilingkungan keluarga pelukis wajar jika dia menjadi seorang pelukis akan tetapi pengetahuan dan ketrampilan melukisnya tidak didapatkan dari pembelajaran khusus dari ayahnya dan pendidikan formal  seni lukis. Proses pengamatan dan kekuatan pikiranya dari mengamati hasil karya lukisan ayahnya digetarkan melalui tangannya menjadi lukisan otodidak yang tidak kalah dengan pelukis lainnya yang mendapatkan pengetahuan melalui khursus dan pendidikan formal.



Kepedulian terhadap dunia pendidikan
Setelah lulus dari UGM fakultas Peternakan sangatlah aneh dunia kerja yang diliriknya bukan berhubungan dengan peternakan namun dia lebih melirik sebagai seorang pelukis ketimbang juragan ayam apa kerja di pemotongan sapi yang bertolak belakang dengan disiplin ilmu yang digelutinya.  Tidak puas tehadap duna lukis yang karya lukisanya hanya untuk kalangan tertentu saja, seorang yang namanya Karang Sasongko berbagi pengetahuan dengan orang lain dengan mendirikan kursus seni lukis untuk anak-anak sekaligus menggali dan mengembangkan talenta anak terhadap seni lukis.

Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak dalam pembelajaran seni lukis dirumahnya membuka cakra kesadaranya bahwa ada yang keliru dalam pendidikan seni lukis di sekolah formal. Pelaksanaan pendidikan seni budaya di sekolah yang hanya sebagai pelengkap kurikulum dan berorientasi verbal dan kurangnya memberi motivasi daya kreasi peserta didik di sekolah yang menyebabkan dia harus terjun langsung di dunia pendidikan formal menjadi seorang guru. 
Materi bukan tujuan utama untuk menjadi seorang guru, rasa keilklsan dan tanggung jawab sebagai seorang seniman untuk menularkan pengetahuan dan ketrampilanya  kepada peserta didik sekaligus meningkatkan mutu pendidikan seni budaya di sekolah. Hal ini pantas di acungi jempol seorang seniman lukis yang mau terjun langsung menjadi seorang guru. Mungkin 1 dari 100 pelukis  yang mau menjadi seorang guru.


Pribadi seorang pelukis.
Sebagai seorang pelukis yang menggeluti aliran realisme berdasarkan hasil karyanya, Karang Sasongko tidak mau terjebak realisme sebagai suatu aliran yang paten seperti pelukis-pelukis lainya yang setia terhadap suatu aliran tertentu dalam seni lukis,  Realisme dipandang sebagai medium mengaktualisasikan kepedulianya terhadap lingkungan.
Dilihat dari hasil karyanya dia berorientasi pada lukisan realisme dan naturalisme, kelihatanya Karang Sasongko berusaha berusaha melukiskan segala sesuatu sesuai dengan nature atau alam nyata.  Selain itu juga  menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa tambahan embel-embel atau interpretasi tertentu.

Tehnik lukisan senantiasa dikembangkan termasuk tehnik menyusun titik-titik menjadi lukisan yang dikenal dengan pointilis. Hal ini berkenaan dengan pribadia dia sebagai seorang pendidik bukan sebagai pribadi pelukis yang idialistis.
Pointillisme adalah salah satu teknik dalam lukisan yang memanipulasi ketidaksensitifan mata dalam meneliti detail kumpulan titik hingga mampu memberikan kesan keberadaan bidang atau warna baru. Biasanya warna-warna yang bukan merupakan warna primer dibentuk secara visual dengan mendekatkan beberapa warna primer menjadi bentuk lukisan yang sangat indah untuk dinikmati.
Saat dilihat dari jarak tertentu, titik-titik pada lukisan pointillisme benar-benar saling tercampur dengan titik lainnya. Untuk pencampuran warna, maka warna baru yang dihasilkan bisa menjadi lebih jernih dan kuat dibanding pencampuran langsung pada palet, sebab yang bergabung adalah warna, bukan pigmen.


Lepas dari itu semua masalah idialistis dari seorang pelukis, yang jelas adanya keberanian dan rasa iklas dari seorang pelukis untuk melukis dalam masyarakat dan dunia pendidikan sehingga dapat menyumbang terbentuknya atmosfer pendidikan seni budaya di sekolah sekaligus menjadi pelopor seniman lukis lainnya untuk menorehkan kanvas di dunia pendidikan

2 komentar:

  1. pointilis ya
    saya sangat suka dengan yang satu ini,
    senang bisa kenal dengan bapak yang suka dengan pointilis juga..............

    BalasHapus
  2. Bagus tulisannya. Terimakasih.

    BalasHapus