Pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang membantah terjadi kasus mencontek massal dalam Ujian Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) di SD Negeri Gadel II Surabaya Jawa TImur adalah pernyataan panik yang hanya untuk menepis lemahnya sistem pendidikan di Indonesia.
Pada saat kita lagi bersemangat menerapkan pendidikan karakter bangsa yang membentuk insan bertaqwa, bertanggungjawab, disiplin, jujur, sopan, kerja keras, dan sebagainya seakan membangun karakter bangsa melalui pendidikan hanyalah tontonan bukan tuntunan.
Kasus contek masal di SDN Gadel II Surabaya itu telah memakan korban dengan denjatuhkan sanksi tegas terhadap Kepala Sekolah Sukatman serta dua guru, yakni Fatchur Rohman yang juga wali kelas VIA dan Prayitno guru kelas VIB yang diturunkan pangkatnya. Selain itu Siami dan anaknya, Alif diusir dan dicacimaki oleh warga setempat.
Kasus ini sudah menjadi masalah nasional yang menjadikan Alif sebagai icon kejujuran, tapi disamping itu banyak orang yang meragukan terjadinya contek masal. Lepas pro dan kontra kasus ini fakta menunjukkan adanya kasus contek masal walaupun dari analisis jawaban soal telah disimpulkan tidak terbukti adanya contekan massal.
Fungsi Ujian Nasional
Pada prinsipnya UN bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa atas setiap Kompetensi Dasar yang telah diajarkan. Aturan evaluasi ditegaskan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi: Evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara kesinambungan.
Fungsi evaluasi selain mengukur kemampuan siswa juga dapat menjadi umpan balik bagi pihak-pihak penyelenggara pendidikan, khususnya guru sebagai fasilitator utama dalam PBM. Sementara berdasarkan sifatnya evaluasi dapat berupa formatif maupun sumatif. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat-saat tertentu untuk mengetahui pencapaian sementara hasil belajar siswa. Sedangkan evaluasi sumatif (summary) adalah proses penilaian secara menyeluruh untuk tingkat-tingkat tertentu sebagai ringkasan atas semua prestasi belajar yang telah diperoleh siswa selama mengikuti pelajaran. Penegasan pelaksanaan evaluasi sumatif ditegaskan dalam PP No 19/2005 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan terutama Pasal 63 ayat (1) yang menyebutkan: Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas : a) penilaian hasil belajar oleh pendidik; b) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c) penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
Problema Ujian Nasional
Dari tiga jenis penilaian di jejang pendidikan dasar dan menengah, untuk mencapai kelulusan peserta didik pemerintah hanya mengacu pada penilaian hasil belajar yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini Ujian Nasional sebelum tahun 2011. Akibat dari kebijakan itu jelas terlihat bahwa pemerintah mengebiri penilaian yang dilakukan oleh pendidik maupun satuan pendidikan. Penilaian akhir untuk proses kelulusan hanya mendewakan Ujian nasional dengan mengabaikan penilaian proses dari peserta didik.
Maka jangan heran satuan pendidikan merubah strategi pola pendidikannya dari pendidikan berbasis proses ke pendidikan berbasis hasil. Yang penting hasil ujian nasional, yang penrting lulus sedang proses belajar selama tiga tahun hanyalah seremoni pendidikan saja.
Sekolah akan berlomba-lomba untuk mengupayakan dengan segala cara demi prestise untuk mengusahakan tingkat kelulusan yang tinggi. Dalam proses situ nilai-nilai kejujuran menjadi kabur dan prinsip-prinsip pendidikan hanyalah menjadi penonton bukan tuntunan.
Untuk mengurangi tingkat ketidakjujuran dari peserta didik tahun 2011 ini pemerintah melakukan berbagai cara dengan menambah paket soal dan menyertakan penilain yang dilakukan oleh pendidik maupun satuan pendidikan. Artinya UN tidak lagi menjadi penentu tunggal dalam kelulusan tetapi kelulusan ditentukan dengan menggabungkan nilai rata-rata semester dan nilai sekolah dengan nilai UN.
Apakah kebijakan ini mampu meredam ketidak jujuran peserta didik dalam menghadapi UN?
Ternyata fakta yang menunjukkan bahwa ketidakjujuran peserta didik masih terjadi, budaya contek, beredarnya SMS kunci jawaban dan usaha sekolah lainnya dalam menyiasati Un masih berlangsung. Kasus contek masal di SDN Gadel II Surabaya adalah salah satu contoh yang terpotret masih adanya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN.
Harapan
Sebagai kuli pendidikan yang langsung bersentuhan dengan pendidikan dilapangan bermimpi agar pelaksanaan Ujian Nasional tidak menimbulkan atau menyuburkan sikap nilai ketidakjujuran peserta didik. Oleh karenanya kita harus merubah pola pandang dari peserta didik yang mendewakan Ujian Naisonal. Secara pribadi kami masih setuju hadirnya Ujian Nasional sebagai tolak ukur kualitas pendidikan di Indonesia selain dapat untuk pemetaan pendidikan. Namun demikian dalam pelaksanaan UN harus selalu mengevaluasi pelaksanaannya agar tercinta kondisi yang progresif dan sinergis dibidang pendidikan.
Untuk mengurangi dan menekan ketidakjujuran peserta didik dalam menghadapi UN salah satu harapan kami adalah :
a. Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan NA
b. NA sebagaimana dimaksud diatas diperoleh dari nilai gabungan antaraNilai Sekolah dari
mata pelajaran yang diujinasionalkan dan Nilai UN, dengan pembobotan 50% (lima puluh
persen) untuk Nilai Sekolah dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 50% (
lima puluh persen) untuk Nilai UN.
c. Hasil kelulusan peserta didik sepenuhnya diserahkan oleh sekolah
persen) untuk Nilai Sekolah dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 50% (
lima puluh persen) untuk Nilai UN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar