Selasa, 14 Juni 2011

Surat Eceran Tentang Siswa Cacat Yang Terbuang

Surat Eceran II
Menanggapi pertanyaan kawan saudara Havid tentang adiknya yang di vonis tidak naik kelas gara-gara cacat tubuh akibat tabrak lari seperti yang dikirim melalui pesan di FB, adalah permasalahan yang menggelitik sampai terbawa dalam mimpi. Apalagi setelah membaca secara lengkap keluh kesahnya Havid's Crime: Ketika Sekolah Tak Mencintai Adikku Lagi di http://a1dde.blogspot.com/2011/05/ketika-sekolah-tak-mencintai-adikku.html membuat mimpi semakin menjadi dan kami terpaksa mengigau menanggapinya.
Dalam hal ini kami lebih tertarik tentang sikap pendidik apalagi sekolahnya dalam hal menangani siswa yang bermasalah dan pelayanan satuan pendidikan terhadap siswa yang dikatagorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ).


Berdasarkan Permendiknas RI  No 70 Tahun 2009, tentang pendidikan inklusif (Pensif) bagi perserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/bakat istimewa
Pada pasal 2 mengatakan bahwa Pendidikan inklusif bertujuan :
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
Dari roh pemen itu jelaslah bahwa pendidikan ditutntut melaksanakan pendidikan berbasis hak asasi manusia. Sistem pendidikan hendaklah diarahkan untuk melayani semua anak dari berbagai latar belakang dan berbagai kondisi dengan tanpa memandang kekurangan, kelemahan dan perbedaan dari setiap anak.

Kembali ke kasus adik kawan yang patah kaki dan tangan akibat tabrak lagi karena alasan yang kurang jelas divonis tidak naik kelas adalah hal yang harus diluruskan oleh satuan pendidikan SMK di salah satu daerah di Kalimantan Selatan. Selain itu pola pelayanan siswa inklusif harus dipahami benar sehingga tidak terbaca seolah satuan pendidikan itu mendiskriminasi siswa yang termasuk Anak Berkebutuhan Khusus.
Kalau hanya karena iswa tersebut tidak mengikuti beberapa ulangan harian dan masalah absensi maka bisa dibijaksanai dengan adanya ulangan susulan sampai siswa tersebut mencapai KKM. Dan jika pola pelayanan inklusif sekolah itu belum mampu dilaksanakan makasekolah bisa menyalurkan pada sekolah lain yang siap dan mampu melayani siswa inklusif.

Memang kita sadar bahwa sistem pendidikan di Indonesia basih banyak kelemahannya dalam aplikasinya di lapangan. Kurikulum pendidikan nasional yang diterapkan saat ini ternyata sangat menyulitkan anak-anak yang berkebutuhan khusus (ABK), seperti yang terjadi di sekolah-sekolah inklusi. Kebutuhan sekolah inklusi ini bukan kurikulum yang berfokus bagaimana mengarahkan siswa agar sesuai harapan standar kurikulum yang berangkat dari sekedar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa, tetapi berangkat dari penghargaan, optimisme dan potensi positif anak yang berkebutuhan khusus.

Fakta yang menunjukkan, kurikulum pendidikan nasional masih kaku, kepala batu dan tidak mau mengalah. Bahkan terhadap siswa yang termasuk ABK, dimana siswanyalah yang harus mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kondisi tersebut sangat menyulitkan anak-anak berkebutuhan khusus yang berada dalam kelas inklusi. Selain kurikulum yang menjadi hambatan bagi pengembangan sekolah inklusi adalah, banyak guru yang masih belum memahami program inklusi. Kalaupun ada yang paham, keterampilan untuk menjalankan sekolah inklusi, itupun masih jauh dari harapan.

Selain jangkauan tangan kurikulum kita yang masih belum bisa menjamah anak yang memerlukan pendidikan secara menyeluruh juga pemahaman para pendidik akan pelayanan pendidikan inklusif masih rendah. Semoga dengan adanya kasus ini bisa membuka wawasan kita semua akan pentingnya pelayanan inklusif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar