Selasa, 26 April 2011

Pengelolaan konflik untuk revitalisasi sekolah

Terbentuknya kultur sekolah yang baik dalam kerangka peningkatan kualitas pendidikan banyak ditentukan kemampuan kerja sama yang sinergis diantara elemen-elemen sekolah. Kerja sama yang baik dalam institusi dapat tercipta apabila terjadi gotong royong antar individu dalam mencapai tujuan bersama.
Hal ini terbukti bahwa dunia industri di Jepang lebih mengutamakan ”team work” yang cerdas untuk kerjasama menghasilkan suatu prestasi kerja dari pada kemampuan individu yang menonjol, tetapi tidak mampu bekerjasama.
Pada setiap institusi yang merupakan kumpulan banyak individu dengan karakter dan latar belakang yang berbeda-beda merupakan potensi konflik.
Konflik bisa terjadi secara vertikal antara atasan dengan bawahan maupun secara horisontal antar individu dalam level yang sama. Oleh karenanya pengelolan konflik sangat bermanfaat dalam organisasi atau institusi yang berpotensi konflik guna mendorong persaingan untuk meningkatkan motivasi kerja,meningkatkan kualitas institusi dan menciptakan organisasi yang sehat (organization heath).


Sumber dan ciri-ciri konflik
Konflik pada dasarnya merupakan proses yang terjadi pada seseorang, kelompok atau sub unit organisasi yang membuat frustasi pihak lain dalam usaha mereka untuk mencapai tujuan ( John Garry, 1996:446 )
Menurut Indrawijaya (1989 ) konflik yang terjadi dapat diamati (perceived conflict) dan dapat dirasakan (felt conflict) dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Pertama, paling tidak ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling berlawanan.
Kedua, saling adanya pertentangan dalam mencapai tujuan, dan atau adanya suatu norma atau nilai-nilai yang saling berlawanan.
Ketiga, adanya interaksi yang ditandai dengan perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan,mengurangi dan menekan terhadap pihak lain untuk memperoleh kemenangan seperti status, tanggung jawab, pemenuhan berbagai kebutuhan.
Keempat, adanya ketidakseimbangan akibat usaha masing-masing pihak berkaitan dengan kedudukan atau kewibawaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Dalam suatu organisasi, konflik akan lahir jika adanya tekanan-tekann yang tidak dapat diterima oleh individu-individu anggota organisasi. Adanya perbedaan paham pada situasi sosial tentang pokok-pokok pikiran tertentu dan atau terdapatnya antagonisme-antagonisme emosional, juga akan mendorong terciptanya situasi konflik.
Sumber konflik pada setiap individu yang mengalaminya sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari persepsi atau penafsiran individu pada lingkungannya. Meskipun demikian paling tidak sumber-sumber yang terjadi pendahulu terjadinya konflik organisasi antara lain : (1) persaingan terhadap sumber-sumber, (2) ketergantungan pekerjaan, (3) kekaburan bidang tugas, (4) perbedaan tujuan, (5) problem status, (6) hambatan komonikasi, (7) sifat-sifat individu (Wexley & Yuki ,1972).

Pengelolaan Konflik di sekolah
Dalam rangka mecapai tujuan pendidikan di sekolah, diperlukan daya dan usaha keras dalam setiap kegiatan. Usaha keras dapat dilakukan apabila organisasi atau sekolah itu sehat. Kesehatan organisasi sangat dipengaruhi oleh sumber daya yang ada. Sumber daya terpenting yang harus selalu ditumbuhkembangakan terutama adalah sumber daya manusianya.
Pengembangan sumber daya manusia untuk mencapai kondisi kultur sekolah yang baik dapat dilakukan berbagai cara. Salah satu cara adalah dengan menumbuhkan motivasi dan kreativitas kerja melalui konflik organisasi yang bertujuan untuk meminimalkan konflik yang merugikan dan memfungsionalkan konflik yang menguntungkan.
Ada beberapa cara untuk memfungsionalkan konflik di sekolah dalam kerangka meningkatkan kinerja sekolah :
Pertama, Tehnik Avoiding (penghindaran ) yaitu merupakan perilaku menghindar dari situasi konflik. Tehnik ini dapat digunakan apabila persoalannya kurang berarti, potensi kekacauan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.
Kedua, Tehnik accomodating yaitu kooperatif tetapi tidak tegas artinya ada kemauan untuk memuaskan keinginan pihak lain, memupuk kerja sama, meratakan perbedaan perbedaan guna mempertahankan keharmonisan.
Tehnik ini tepat digunakan jika persoalan yang ada lebih penting bagi pihak lain dari pada bagi kita, untuk membangun kekuatan sosial apabila muncul kekuatan di masa datang, guna meminimalkan kerugian jika kita kalah dalammenghadapi persoalan yang berkembang, jikaharmoni dan stabilitas merupakan hal yang sangat penting.
Ketiga, Tehnik competing yaitu sikap tidak kooperatif, bekerja dengan cara menentang pihak lain dan berusaha untuk mendominasi dalam situasi menang atau kalah.
Tehik ini tepat digunakan apabila untukmenentukan kebijakan dalam situasi yang darurat, persoalannya penting, bersifat vital bagi kemajuan sekolah, konflik ini terjadi dengan pihak-pihak oportunis.
Keempat, Tehnik compromised yaitu perilaku yang yang diekpresikan dengan sikap yang cukup kooperatif dan tegas ( assertif) berupaya untuk memuaskan kedua belah pihak . Tehnik ini dapat dipakai jika tujuan penting dan dan kurang berimbang dengan kekacauan yang ditimbulkannya dan jika pihak yang bertikai memilikikekuatan yang seimbang.
Kelima, Tehnik collaborating yaitu perilaku yang ditunjukan dengan sikap kooperatif maupun assertif dan berupaya untuk memuaskan keinginan keduabelah pihak.
Tehnik ini dipakai untuk memecahkan masalah secara intergratif kerena kedua kepentingan amat sensitif untuk dikompromikan, untuk memadukan perspektif yang berbeda, untuk mencapai komitmen dengan memasukkan kepentingan-kepentingan dalam suatu konsensus dan untuk meredakan perasaan yang telah merusak hubungan.

Setiap organisasi, institusi , komoniti termasuk didalamnya sekolah pasti mempunyai potensi konflik yang apabila tidak ditangani secara bijak maka akan menimbulkan permasalahan bagi integrasi organisasi.
Manegemen konflik yang efektif akan selalu merespon konflik secara positif sehingga akan dimanfaatkan untuk meningkatkan motivasi dan kreativitas guna mendorong kinerja individu-individu dalam organisasi.
Bahkan konflik yang direspon secara positif akan menciptakan kultur yang mendorong kerja sama, dalam hal ini konflik yang produktif dan bersifat membangun yang akhirnya dapat menciptakan organisasi yang sehat (organization heath)

Academic atmosphere

adalah kondisi yang mutlak diperlukan untuk membentuk suatu masyarakat sekolah yang bercirikan budaya sekolah (school culture) yang sekaligus merupakan indikator keberhasilan. Dengan terciptanya academic atmosphere yang kondusif diharapkan terbentuk brand image yang membanggakan bagi sekolah sekaligus meningkatnya kualitas pendidikan. Dalam membentuk kultur sekolah yang kondusif diperlukan perubahan yang prograsif, sinergis dan harmonis dengan arah perubahan yang senantiasa menempatkan aspek-aspek sebagai berikut :
Pertama, Relevansi, yaitu salah satu ukuran kemajuan yang digunakan sebagai patokan dalam melakukan reposisi peran sekolah. Yang selalu berupaya mereposisi pola pikir dan perannya untuk mengimbangi dan mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuan
Kedua, Academic atmosphere adalah kondisi yang mutlak diperlukan untuk membentuk suatu masyarakat sekolah yang bercirikan budaya sekolah (school culture) yang sekaligus merupakan indikator keberhasilan.
Ketiga, Internal Manajemen adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembenahan untuk kemajuan. Peningkatan professional, kompetensi dan kesejahteraan para guru, staf administrasi, staf pendukung adalah hal-hal yang tidak bisa dipisahkan dalam proses pembenahan menuju kemajuan yang diharapkan.
Keempat, Sustainability yaitu semangat yang harus terus dikembangkan untuk menjamin proses kemajuan yang berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya dan capacity sharing dikembangkan dalam berbagai kerja sama yang simetris dan tidak merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam ikatan kemitraan. Untuk itu jaminan kualitas harus diwujudkan dengan kesungguhan yang tinggi.
Kelima, Equity adalah prinsip yang dianut oleh sekolah dalam menjalankan perannya memajukan pendidikan. Education for people adalah prinsip utama dalam menjalankan berbagai kegiatan. Persamaan yang berkeadilan diperlakukan untuk menjamin masyarakat yang tidak mampu dapat memperoleh pendidikan dan masyarakat yang mampu memberikan kepedulian dan bantuan (care and sharing) kepada mereka. Prinsip ini dikembangkan pula untuk menghilangkan bias gender, suku dan agama. Sehingga prinsip unity in diversity (bhinneka tungal ika) dikembangkan dalam suasana progresif, bersinergi dan harmonis menjadi semangat dalam kinerja di sekolah.
Keenam, Organisation health adalah nilai ultimate yang menjamin bahwa sekolah dalam menjalankan perannya akan menjadi organisasi yang sehat, setiap tugas akan dilaksanakan dengan akuntabilitas yang tepat dan dengan komitmen yang tinggi oleh semua elemen pelaksana. Unsur produktivitas, kreativitas dan inovatif akan menjadi tolok ukur prestasi seseorang dalam menjalankan tugas. Akuntabilitas, loyalitas dan dedikasi yang tinggi, serta kejujuran merupakan nilai plus yang diterapkan untuk menilai kelayakan dan kepatutan seseorang dalam melaksanakan tugas. Indikator-indikator objektif akan diterapkan sebagai alat ukur penilaian keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas.
Hubungan antar elemen sekolah yang harmonis dan manejemen konflik yang kontruktif merupakan syarat yang tidak boleh ditawar dalam menciptakan kultur sekolah yang kondusif. Masalah internal sekolah harus diatasi dengan cara-cara kekeluargaan dan dengan pendekatan administratif. Bagi individu memang benar-benar menjadi trouble maker (pembuat masalah) penangannya dengan menggunakan Tehnik compromised.

Komunikasi merupakan faktor utama untuk menjalin system kerja antar elemen sekolah. Kelompok kerja dibuat berdasarkan kebutuhan peran, misalnya MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) merupakan pokja yang dibuat karena kebutuhan menjaga kualitas mutu pelajaran. Masih banyak pokja lainnya yang dibuat untuk kebutuhan menyelesaikan tugas-tugas yang spesifik. Komunikasi antara pimpinan sekolah dan para guru serta siswa dapat dilakukan secara langsung manajemen. Namun demikian pelaksanakan keputusan oprasional akan dilakukan secara manajemen yang menempatkan aspek adminitrasi sebagai pembuktian tanggung jawab, bukan sebagai birokrasi penghambat. Hubungan kesetaraan (collegial relationship) dan komonikasi yang intensif akan dapat menciptakan iklim kekeluargaan dan dapat mengerosi potensi konflik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar